Jumat, 04 November 2011

E-learning


Penerapan e-Learning di Indonesia setidaknya harus memperhatikan kondisi mahasiswa yang bersangkutan. Sebagai pilot project sebaiknya ditawarkan kepada mahasiswa yang memiliki Indeks Prestasi yang cukup tinggi. Mengapa demikian? Karena menurut saya dengan menerapkan pada mahasiswa golongan ini, maka dosen bisa melakukan riset terhadap kinerja dari penerapan e-Learning tersebut tanpa harus khawatir akan mengorbankan hasil evaluasi dari mahasiswa yang memiliki Indeks Prestasi yang “berbahaya” untuk mengikuti e-Learning ini. Dengan memberikan kelas e-Learning pada sebagian mahasiswa dan memberikan kelas tradisional untuk sebagian mahasiswa yang lainnya, dosen pengajar dapat mengevalusi secara paralel nilai yang dihasilkan oleh masing-masing mahasiswa, meningkatkan pola pengajaran sambil mengevaluasi kekurangan dari kelas e-Learning yang diujicobakan.
Ditinjau dari sisi budaya, sebenarnya mahasiswa kita masih belum siap untuk menerima perubahan.  Sebagian besar budaya belajar-mengajar di Indonesia masih bersifat TLC (Teacher Learning Center) di mana mahasiswa sangat bergantung pada kemampuan dosen membawakan materi sehingga selain memiliki kemampuan akademis yang bagus seorang dosen juga dituntut untuk bisa menjadi seorang motivator yang baik. Sedangkan sistem e-Learning ini menurut saya cocok diterapkan untuk budaya yang bersifat SLC (Student Learning Center) yang artinya mahasiswa harus aktif untuk mencari sendiri apa yang dia butuhkan dan berusaha untuk mengetahui sendiri apa kekurangan yang harus dia kejar. Untuk itu, apa yang perlu dilakukan? Tindakan yang realistis adalah dengan melakukan penerapan secara bertahap, memberikan kesempatan perguruan tinggi untuk melakukan riset, seperti yang dilakukan Bapak M. Husni yang masih menjalankan sistem virtual class hingga sekarang, dengan membiasakan mahasiswa belajar secara SLC ( Student Learning Center ), maka akan membuat perubahan ( secara bertahap ) pada pola belajar mahasiswa.
Dari sisi infrastruktur yang disediakan pemerintah sebenarnya sudah cukup baik, JARDIKNAS contohnya. Sistem inherent untuk pendidikan ini masih belum difungsikan dengan maksimal sehingga terkesan pemerintah hanya “mengikuti perkembangan jaman” tanpa tahu harus menggunakannya. Sebenarnya saya memiliki angan-angan bahwa tidak lama lagi seluruh jaringan kabel telekomunikasi yang kita gunakan akan menggunakan fiber optic seperti negara tetangga kita, yang bisa menyediakan bandwith yang cukup besar dengan biaya penggunaan yang hampir sama dengan yang ada di Indonesia ( bahkan lebih murah ).
Yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan Sumber Daya Manusia. Realita yang ada adalah tidak semua tenaga pendidik baik ditingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi bisa menggunakan dan mengoperasikan barang-barang dengan teknologi terbaru, contoh paling gampang adalah komputer. Di Surabaya beberapa bulan yang lalu diadakan pelatihan menggunakan komputer untuk para guru SMA oleh Dinas Pendidikan Kodya Surabaya. Dalam prakteknya hampir 80% dari guru yang ada jarang menggunakan komputer. Pelatihan yang singkat tapi berkelanjutan sangatlah efektif diterapkan untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia yang memiliki peran besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, siapa lagi kalau bukan Guru dan Dosen.



Sumber:
http://parvian.wordpress.com/2008/07/13/penerapan-e-learning-di-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar